The Endless Pursuit of Wellness


by Glow Necessities
The Endless Pursuit of Wellness
Photograph: Courtesy of Elizabeth Renstrom | Getty Images

What is fiction if not a figment of our real life desires and fears? Selama bekerja di rumah saja di masa pandemi, menonton katalog film-film yang pernah saya miliki dalam mengisi waktu di sela-sela pekerjaan sehari-hari adalah hal yang paling saya nantikan di samping makan dan tidur. Adapun karena saya bekerja—serta juga seorang konsumen yang cukup antusias—di industri kecantikan & farmakologi, bukan hal yang aneh juga jika genre film yang saya tonton, baik itu fiksi, sci-fi, thriller, comedy atau satire sebagian besar masih berhubungan dengan wellness, kesehatan dan anti-aging.

Perhatian: akan ada banyak spoiler setelah ini.

Adapun dengan melihat berbagai film bertema ini, saya menemukan banyak aspek yang terkadang membuat saya merasa antara cukup terkesima, merasa ironis—atau dibuat tertawa—setelah menarik kesimpulan dengan mengetahui motivasi karakter di film-film ini untuk melakukan apa yang mereka lakukan—sometimes things even ends bizarrely. Contoh pada film A Cure for Wellness (2016), sebuah thriller mengisahkan seorang bangsawan yang menggunakan manusia rakyat jelata layaknya benda disposable untuk menyaring sumber air ‘ajaib’ demi hidupnya yang lebih panjang. Atau Death Becomes Her (1990), yang auranya lebih ke dark comedy/satire di mana dua karakter utama wanitanya rela minum ramuan hidup abadi hanya agar bisa tampil muda lagi demi memikat pria yang mereka rebutkan—namun berujung tubuh fana mereka tidak bisa mati dan walaupun sudah hancur, mereka tetap mengarungi waktu layaknya mayat hidup, bahkan ketika pria yang mereka rebutkan juga sudah wafat karena tutup usia. Ada lagi sebuah film adaptasi novel bertema cautionary tale: The Picture of Dorian Gray (1945) yang menceritakan seorang pria aristokrat narsis yang hanya ingin mengejar kenikmatan duniawi & hidup hedonisme untuk selalu awet muda yang dengan cara mistis menukar umurnya dengan lukisan portrait dirinya—di mana lukisannya yang lambat laun semakin tua, tetapi tubuhnya tidak bertambah umur. Contoh terakhir adalah pada film pertama dari saga dunia sihir—Harry Potter and the Sorcerer’s Stone (2001) yang mengisahkan motivasi karakter antagonis utamanya untuk mencari batu “ajaib” yang dapat membuat ramuan kehidupan demi hidup lebih panjang.

Dengan melihat contoh barang-barang fiksi di atas: bagaimanakah jika dibandingkan dengan kasus pada kehidupan nyata dalam industri wellness ini? Bagaimana makna wellness ini yang juga multitafsir atau tidak memiliki definisi khusus: apa sesungguhnya yang dicari? Apakah ironis jika kita merasa bisa lebih sehat dengan air celupan batu yang katanya serpihan “meteor” dibanding obat-obatan yang sudah didukung data untuk mengatasi masalah kesehatan sehari-hari? Atau anggapan dengan menghirup minyak wangi (essential oil) setara dengan kinerja obat antivirus atau antifungal yang menunda pengobatan penyakit tertentu? Atau batu-batu mulia yang ‘katanya’ dapat memancarkan energi untuk klaim kesembuhan berbagai penyakit?

Mungkin kasus yang paling dikenal publik terkait penundaan perawatan penyakit yang berujung fatal oleh karena alih-alih dengan EBM (evidence-based medicine) malah mengandalkan perawatan alternatif adalah pada seorang figur publik Steve Jobs, orang yang ditautkan sebagai individu paling inovatif, pendiri & CEO Apple Inc. hingga 2011 saja juga turut terbelusuk, jadi ini bukanlah masalah yang terisolasi pada golongan masyarakat tertentu. Vlogger cardiologist Rohin Francis juga menyatakan bahwa ini juga bukan kesalahan salah satu pihak, tetapi ekor dari masalah yang ditemui antara petugas medis dengan pasiennya: kurangnya interaksi dan pemahaman emosional di dalam sistem layanan medis yang mana dituntut agar serba praktis, cepat, efektif dan efisien dengan demand yang ada sesuai dengan data dan grafik statistik—yang menjadikan pengobatan alternatif sebagai jalan yang lebih memikat karena dianggap lebih memberi sentuhan manusiawi dan kebutuhan emosional lebih diperhatikan.

Jadi melihat semua fenomena ini pertanyaannya kembali lagi: apakah memang dengan berusaha mengatasi masalah kesehatan secara otodidak adalah sesuatu yang memberdayakan (empowering) kemampuan kita sebagai individu yang mandiri? Atau apakah dengan tidak menunda-nunda pengobatan secara konvensional berarti kita seakan-akan lemah dan ‘mudah menyerah’ terhadap kondisi? Atau mungkin industri ini sudah tahu insecurity kita untuk memendam rasa sakit dan takut malu jika hal-hal tabu seperti masalah kesehatan pribadi (atau topik yang membahas tentang kematian) dibahas kepada orang-orang terdekat kita? Benarkah petualangan penyempurnaan diri ini berusaha membantu kita mencari solusi atas masalah realistis yang ada atau memicu agar kita terus mau sampai kita tidak mau apa-apa lagi (karena semuanya sudah dicoba)?

Lalu bagaimana dengan aspek perawatan kulit yang ditautkan sebagai self-care? Baik dengan ‘inovasi’ bahan-bahan eksotis baru setiap tahunnya yang menjanjikan kemudaan—yang dengan konsekuensi karena bahan baru: maka tidak banyak data pendukungnya baik untuk manfaat maupun risiko efek sampingnya—baik itu racun lebah, lendir siput atau minuman suplemen collagen semuanya berakar dari pertanyaan ‘bagaimana jika’? Atau bagaimana jika kemungkinan buruk terjadi dengan memakai produk-produk eksperimental atau alternatif ini dibanding metode & bahan yang sudah tried-and-tested untuk kondisi kulit akut di balik kesenjangan dalam kemudahan mengakses pelayanan medis jika kemungkinan buruknya terjadi pada masing-masing individunya?

Adapun hal yang wajar & manusiawi jika beberapa dari kita selalu mencari sesuatu yang ‘lebih’ dengan segala sensasi dari dopamine saat mengkonsumsi sesuatu yang terkesan inovatif dan apa yang membuat kita sebagai komunitas dapat mendukung terbentuknya peluang-peluang bisnis baru, namun demikian dengan berpikir kritis dan mengetahui batas mana sesuatu produk sekedar hiburan, little novelties atau mana yang benar-benar solusi dalam keadaan mendesak (dan kondisi serius) akan setidaknya membantu menjaga keberpanjangan kesehatan, bukan sekedar sugesti perasaan sehat.