Ya, Paraben di Skincare Itu Aman


by Glow Necessities
Ya, Paraben di Skincare Itu Aman

Setiap kali kita melihat istilah 'Paraben-Free' / 'Bebas Paraben' di berbagai label skincare dan kosmetik ini wajar jika lama-lama muncul pertanyaan dalam diri kita: 'Senyawa kimia ini seburuk itukah sampai semua produsen menghindari memakai produk ini?'; 'Apakah yang masih memakai Paraben ini berarti seolah-olah 'sengaja' memakai pengawet yang 'katanya' mengganggu hormon atau menyebabkan kanker sebagaimana yang sering dikutip dalam jargon marketingnya?'

Layaknya nasi sudah menjadi bubur, seringnya berbagai ranah industri skincare dan kecantikan juga kurang membantu untuk memperjelas misinformasi terkait yang sudah terlanjur di-salah-kaprah-kan oleh marketing pada munculnya kekhawatiran pada paraben (atau malah pengawet secara umum di kosmetik). Pada pembahasan artikel ini akan dibahas fungsi dan manfaat, serta regulasi yang mengatur keamanan paraben dan bagaimana sebenarnya awal mula kekhawatiran terhadap paraben dimulai.

MANFAAT PARABEN DI FORMULA SKINCARE

Jika kita membeli makanan segar—misal roti, susu, sayuran, atau masakan—yang walaupun disimpan di kulkas, bukanlah hal yang tidak wajar jika dalam beberapa hari makanan tersebut akan membusuk, ditumbuhi jamur, bakteri, atau berbau. Sama halnya dengan formula kosmetik atau skincare yang mengandung kombinasi berbagai bahan yang mengandung atau berbahan dasar air—baik yang sumbernya 'alami' maupun sintetis—penting untuk memiliki pengawet agar formulanya tetap stabil, tidak ditumbuhi jamur (mold) dan bakteri sehingga produknya tetap aman ketika dipakai dan tidak menimbulkan berbagai infeksi atau masalah kesehatan kulit jika disimpan dalam jangka yang lama.

Struktur molekul dari paraben
Source: Getty Images

Paraben adalah salah satu golongan pengawet yang paling efektif karena karakteristiknya yang broad-spectrum untuk menghambat berbagai jenis jamur & bakteri tumbuh dalam kosmetik. Selain itu karena paraben hanya perlu digunakan dalam konsentrasi lebih rendah dalam kosmetik dibandingkan golongan pengawet lainnya, risiko iritasi yang ditimbulkan dari paraben juga paling rendah sehingga paraben adalah salah satu pengawet yang ter-gentle. Sedangkan risiko munculnya alergi (allergic dermatitis) dari paraben—layaknya bahan skincare lain merupakan hal yang wajar dan berbeda dengan risiko iritasi yang biasa ditimbulkan dari pengawet yang biasa menjadi alternatif dari paraben (lebih jauh dibahas di bawah).

Lebih dari itu, karena paraben adalah senyawa yang muncul secara alami (naturally occuring) pada buah-buahan seperti blueberry atau beri-berian lain, maka paraben termasuk turunan bahan alami. Dengan demikian sudah jelas bahwa awal mula peneliti menemukan manfaat paraben sebagai pengawet adalah karena mereka melihat bahwa tanaman dan buah-buahan tersebut yang tidak mudah ditumbuhi jamur dan bakteri saat masih hidup.

MUNCULNYA PARABENOIA

Kecemasan pada paraben ini dimulai karena pada sebuah studi tahun 2004 bahwa paraben ditemukan dalam 20 sampel tumor payudara. Adapun pada studi tersebut penulisnya tidak memberi penjelasan bahwa paraben menyebabkan kanker serta tidak menjelaskan bagaimana paraben bisa muncul di jaringan kanker, tidak dilakukan perbandingan dengan jaringan dari sampel individu yang sehat dan tidak mempertimbangkan kemungkinan parabennya berasal dari paraben yang terkandung di buah-buahan atau makanan yang dikonsumsi. (Karena bahan-bahan kosmetik yang dioleskan di kulit pada dasarnya tidak semata-mata diserap tubuh dan tetap berada di lapisan kulit untuk bekerja sesuai fungsinya: merawat kulit dari luar)

Ilustrasi munculnya ‘salah kaprah’ dari interpretasi ilmiah yang keliru. Sumber: PhDcomics.

Perlu diketahui bahwa setelah munculnya studi ini tidak ada studi atau uji klinis lain yang menemukan hasil kausalitas (sebab-akibat) bahwa paraben menyebabkan kanker. Bahkan beberapa bulan setelah studi tersebut dipublikasi, penulis dari studi 2004 akhirnya menyangkal sendiri apa yang sudah terlanjur di-salah-artikan dari studinya bahwa 'mengukur jumlah paraben dalam suatu jaringan saja tidak dapat menjadi bukti yang cukup untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat'.

STANDAR GANDA INDUSTRI SKINCARE

Ironisnya justru terdapat beberapa studi yang sama-sama menunjukkan korelasi senyawa pada lavender essential oil dan tea tree oil terhadap gangguan hormon (endocrine disruptor) tetapi tidak memperoleh perhatian yang sama oleh media atau sengaja diabaikan oleh greenwashing marketing dibandingkan dengan paraben hanya karena lavender dan tea tree oil ini sumbernya 'alami'.

Selain itu justru alternatif dari paraben cenderung memiliki risiko memicu iritasi lebih tinggi atau malah tidak se-efektif paraben dalam mencegah kontaminasi dalam kosmetik seperti contoh:

  • Methylchloroisothiazolinone dan/atau methylisothiazolinone yang seharusnya untuk produk bilas saja dan jika dalam produk non-bilas berpotensi tinggi menyebabkan iritasi alergi;
  • Pengawet 'alami' dengan kombinasi 3 bahan berikut: Zanthoxylum Piperitum, Usnea Barbata, Pulsatilla Koreana—yang sempat menjadi kontroversi akibat hasil dari seorang whistleblower terkait kontaminasi bahan ilegal yang hingga kini belum terkonfirmasi kejelasannya. Selain itu tidak ada studi publikasi pihak independen yang diulas sejawat (peer-reviewed) atas keamanan dan keefektifannya selain klaim dari supplier bahan bakunya saja.
  • Bahan fragrance yang memiliki klaim sebagai 'pengawet' yang memanfaatkan kekhawatiran konsumen yang terhadap pengawet atau bahan-bahan 'kimia' dengan resep 'rahasia' padahal tidak ada data studi pihak independen yang mendukung keefektifannya; atau bahan pengawet 'alami' yang tidak diregulasi oleh lembaga kesehatan manapun yang dipakai dalam satu produk 'natural' ditarik dari pasaran karena produknya cepat terkontaminasi pathogen akibat sistem pengawet yang tidak efektif ini.

RINGKASAN POIN PENTING

Terlepas dari kontroversi yang ada di media atau marketing industri kosmetik, paraben tetap merupakan pengawet yang aman jika digunakan dalam konsentrasi di kosmetik sebagaimana diatur oleh regulasi lembaga kesehatan. Bahkan studi atas keamanan paraben sudah beberapa kali melalui amandemen pada tahun 2008 dan 2020 yang menyimpulkan: paraben tetap aman dalam konsentrasi yang digunakan sebagaimana dalam formulasi kosmetik pada umumnya.

Dengan melihat pertimbangan pro dan kontra di atas, jika kita sebagai konsumen tetap memilih produk yang bebas paraben sesuai selera masing-masing, hal yang dapat dipetik dari pembahasan ini adalah:

  • Produk kosmetik yang tidak berpengawet justru lebih berbahaya bagi kesehatan daripada produk yang diawetkan—baik dengan paraben maupun pengawet efektif lainnya;
  • Beberapa pengawet yang merupakan pengganti paraben justru dapat memiliki risiko memicu iritasi lebih tinggi dibanding paraben atau tidak seefektif paraben; dan
  • Paraben tetaplah salah satu pengawet yang sudah memiliki banyak data pendukung yang solid untuk menjaga keamanan kosmetik secara efektif yang berisiko rendah memicu iritasi;
  • Karena pemakaian paraben sudah diatur dengan lebih ketat di berbagai lembaga kesehatan di hampir seluruh area di dunia dalam batas konsentrasi tertentu—baik dalam kosmetik maupun makanan—untuk tetap bekerja efektif mengawetkan, maka sudah lebih aman untuk kesehatan dibandingkan jenis pengawet lainnya. (tidak ada peraturan lembaga kesehatan yang mengatur batas keefektifan dan keamanan pemakaian ‘pengawet alami’ di negara manapun)

REFERENCES:

  • International Journal of Toxicology, 2008, 27 (Suppl 4), Pages 1-82
  • JAMA Dermatology, January 2016, 152(1), Pages 67-72
  • International Journal of Toxicology, July-Aug 2020, Volume: 39 issue: 1_suppl, pages: 5S-97S
  • CIR-Safety.org, Paraben (Internet, last retrieved March 2020)
  • CDV.gov, Paraben (Internet, last retrieved March 2020)
  • FDA.gov, Paraben (Internet, last retrieved March 2020)
  • JDIH POM Indonesia, (Internet, last retrieved March 2020)
  • New England Journal of Medicine, 2007, Vol 356, Pages 479-485
  • The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, November 2019, Vol.104 (Issue 11), Pages 5393–5405
  • Dermatitis, Nov-Dec 2015, Vol. 26 (Issue 6), Pages 254-259