Rating Fungal Acne-Safe: Membantu atau Bom Waktu?


by Glow Necessities
Rating Fungal Acne-Safe: Membantu atau Bom Waktu?

Apakah akhir-akhir ini sering menemukan istilah fungal acne, baik yang diutarakan oleh public figure, blog, atau website analisa bahan kosmetik? Dan dengan melihat informasi berulang ini wajar jika muncul pertanyaan: apa ini sesuatu yang perlu dikhawatirkan?

Berikut ini akan dibahas garis besar kondisi kulit yang menjadi trend ini dan cara yang dapat kita tempuh untuk menangani dengan tuntas.

ISTILAH YANG KELIRU

    “Fungal” acne ini pada dasarnya adalah penamaan yang keliru dan tidak diakui professional medis sebagai diagnosa penyakit kulit—karena acne atau acne vulgaris (jerawat), adalah kondisi peradangan dan timbulnya lesi di kulit akibat tersumbatnya sebum di pori-pori yang kemudian menjadi "ladang" over-populasi bakteri C. acnes yang sudah ada di permukaan kulit.

    Kondisi yang dikenal “fungal” acne ini lebih tepatnya adalah Malassezia folliculitis atau Pityrosporum folliculitis adalah kondisi peradangan di area akar rambut (follicle) di permukaan kulit yang kemudian tampak seperti acne (acneiform) akibat populasi microbiota jamur Malassezia atau Pityrosporum yang 'berlebihan' karena faktor bawaan tertentu seperti:

    • penggunaan antibiotik berlebihan
    • genetik
    • sistem imun tubuh abnormal (misal faktor HIV/AIDS atau ODHA)
    • penggunaan (atau penyalahgunaan) steroid (baik secara topical atau diminum) jangka panjang

    Ilustrasi Microbiota di Kulit Saat Kondisi Normal 1

    Adapun kondisi penyakit kulit ini memang memiliki “penampakan” gejala yang serupa dengan whitehead pada umumnya dengan karakteristik lesi yang seragam, dan diikuti dengan rasa gatal. Tetapi karena gejala yang tumpang tindih ini, maka dari itu dibutuhkan tidak hanya diagnosa, tetapi juga uji kerok (scrape test)—uji sample jaringan kulit di area yang terinfeksi— ke dokter spesialis kulit dan kelamin dan/atau laboratorium untuk mengkonfirmasi bahwa benar itu disebabkan overpopulasi microbiota jamur atau tidak.

    Ilustrasi Microbiota Ketika Terjadi M. folliculitis Akibat Overpopulasi Jamur 2

    Sejauh studi yang ada, M. folliculitis paling efektif jika diobati dengan obat anti-fungal, di mana di Indonesia sebagian besar bahan anti-fungal merupakan golongan obat keras—yang hanya bisa diresepkan dan diawasi penggunaannya oleh dokter spesialis kulit, baik obat minum maupun obat oles—untuk mencegah timbulnya kembali kondisi infeksinya.

    Pakai Produk dengan Bahan yang ‘Katanya’ Fungal Acne-Safe = Jaminan M. Folliculitis Sembuh & Tidak Kumat Lagi?

    Sistem rating "fungal" acne-safe ini bukanlah sesuatu yang resmi diregulasi oleh lembaga kesehatan di negara manapun, dan informasi beredar di situs-situs analisa komposisi bahan kosmetik hanya bersumber dari informasi di blog yang bukan dari instansi medis.

    Sumber: Google Trends, Grafik Data pencarian istilah “fungal acne” dalam lima tahun terakhir. Diketahui pencarian meningkat drastis sesaat setelah dirilisnya video YouTuber yang mereferensi Blog awam anonim (bukan institusi medis) pada pertengahan 2018.

    Ironisnya informasi di blog yang sama juga membuat klaim bahwa dengan mengikuti praktik ini dapat berperan sebagai penyembuh (cure) M. folliculitis yang mana sesungguhnya merupakan penyakit kulit medis dan hal ini sudah menyalahi definisi produk skincare—yang dianggap sebagai kosmetika—jika sesuai regulasi yang berlaku menyatakan bahwa kosmetika tidak dapat membuat klaim untuk bekerja sebagai obat atau menggantikan fungsi obat antifungal.

    Klaim bahan pen-trigger “fungal” acne—layaknya rating comedogenic—juga tidak sepenuhnya akurat karena:

    • tidak mempertimbangkan seberapa konsentrasi bahan baku kosmetika digunakan dalam formulasi skincare;
    • tidak mempertimbangkan overpopulasi jamur Malassezia yang dapat menyebar (proliferate) karena sebum yang diproduksi kulit individu secara alami;
    • tidak mempertimbangkan faktor riwayat penyalahgunaan bahan obat—seperti corticosteroids—di kosmetik ilegal atau abal-abal yang dipakai jangka panjang;
    • berdasarkan studi in vitro (di jaringan kulit di cawan petri) saja;
    • atau hanya berdasarkan studi korelasi kasus tertentu—karena semata-mata memiliki gejala yang serupa dengan jerawat (acne vulgaris) pada umumnya pada kulit yang cenderung berminyak—bukan review sistematis yang menjelaskan sebab akibat (kausalitas).

    Sederhananya dengan merawat kulit yang menghindari bahan-bahan dengan rating tidak “fungal” acne-safe ini layaknya metode detox, atau puasa skincare—yang tidak berdasarkan regulasi atau interpretasi studi ilmiah yang akurat—kemungkinan besar kita malah semakin menunda-nunda pengobatan kondisi penyakit kulit—yang seharusnya dapat diobati oleh dokter sedini mungkin—sehingga berpotensi menyebabkan M. folliculitis menjadi semakin parah.

    RISIKO MENUNDA PENGOBATAN KE DOKTER

    Adapun kemungkinan terburuk adalah menunda pengobatan secara internal faktor penyakit medis (sistem imun abnormal, ODHA) yang merupakan akar masalahnya—di mana M. folliculitis merupakan salah satu dari “sinyal” yang dibuat tubuh atas penyakit yang diidap—sehingga berpotensi menjadi semakin parah.

    Analoginya sama seperti contoh: misal kita mengidap penyakit saluran pernapasan serius akibat infeksi bakteri yang seharusnya dilakukan tes ke laboratorium dan diobati dengan antibiotik oleh dokter, tetapi kita menunda-nunda pengobatan hanya karena baca-baca Google dan menyimpulkan “sekadar pilek & batuk biasa” hanya karena gejalanya mirip; lalu berharap dengan tidak minum es atau mengurangi micin bisa semata-mata ‘sembuh’ karena sudah turun-temurun diajarkan demikian.

    Berbeda halnya dengan beruntusan, komedo whitehead atau blackhead biasa yang disebabkan oleh pori-pori tersumbat yang bisa diatasi oleh bahan-bahan seperti retinol, salicylic acid, niacinamide, alpha hydroxy acid, atau bahan keratolytic lain—yang memang diijinkan oleh regulasi yang berlaku untuk diformulasikan pada produk skincare yang dapat dijual bebas di pasaran; bahan-bahan antifungal yang efektif (seperti ketoconazole, miconazole, clotrimazole, dsb) merupakan golongan obat keras terbatas sehingga wajib diawasi dokter untuk penggunaan yang tepat dan tidak sembarangan agar tidak mengganggu homeostasis (kondisi keseimbangan) microbiota yang ada di kulit.

    Adapun trend rating “fungal acne”-safe ini dapat memberi gagasan seakan-akan jamur Malassezia atau Pityosporum ini merupakan microbiota yang “buruk” atau “wajib dibasmi” dimana sesungguhnya memiliki fungsi sebagai salah satu dari sekian banyak microbiota di kulit yang jika kondisi sistem imun tubuh normal, merupakan microbiota yang tidak berbahaya (benign) dan menjaga keseimbangan kondisi homeostasis kulit agar tetap sehat (bersifat commensal).

    Beberapa kasus anecdotal yang beredar di jagat internet karena terlalu obsesi untuk membasmi jamur di kulit dengan diagnosa mandiri berujung pada penggunaan produk tidak sesuai petunjuk pemakaian (seperti memakai shampoo anti ketombe di kulit wajah sebagai masker) atau memakai salep obat antifungal tanpa melalui pengawasan dokter yang berujung kulit iritasi (dermatitis) atau resistensi terhadap antifungal yang malah mengacaukan keseimbangan (homeostasis) microbiota di kulit.

    Ilustrasi Kemungkinan Disbiosis Microbiota di Kulit Akibat Penyalahgunaan Obat Antijamur Tanpa Pengawasan Dokter  3

    Jika memang menemui gejala beruntusan dan tidak yakin bahwa kondisinya merupakan M. folliculitis atau pori-pori tersumbat biasa, beberapa hal yang bisa dilakukan adalah:

    • memastikan produk skincare yang digunakan bertekstur yang sesuai dengan tipe kulit—jika kulit cenderung berminyak, maka hindari yang tekstur terlalu pekat, creamy, tinggi oil atau greasy;
    • eksfoliasi secara konsisten—namun tidak berlebihan—dengan skincare yang mengandung alpha hydroxy acid (antara  5 sampai 10%) atau salicylic acid (maksimal 2%) yang diformulasikan secara efektif untuk membantu menyeimbangkan proses deskuamasi di kulit. Salicylic acid untungnya selain memiliki fungsi keratolytic, juga memiliki fungsi antibacterial, antijamur dan menenangkan kemerahan sehingga bisa menangani beberapa kebutuhan sekaligus;
    • dan memastikan bahwa produk yang digunakan sudah bebas iritan dan gentle agar tidak memperparah kondisi inflamasi yang berpotensi memicu over-produksi sebum.

    Hal penting yang perlu dipertimbangkan di sini adalah menyesuaikan ekspektasi dan batasan-batasan yang bisa dilakukan produk skincare, sehingga jika kondisi tidak kunjung membaik dalam beberap minggu, atau jika kondisi didampingi dengan rasa gatal yang sangat mengganggu, maka melakukan diagnosa dan uji kerok (scrape test) ke dokter spesialis kulit adalah jalan yang harus ditempuh.

    Kesimpulannya rating ini tidak sepenuhnya mubazir. Jika memang hasil diagnosa atau scrape test positif mengkonfirmasi bahwa gejala benar disebabkan infeksi overpopulasi jamur, dan memang diinstruksikan melalui hasil konsultasi dengan dokter spesialis kulit untuk menghindari bahan-bahan yang dianggap memperparah M. folliculitis ini berdampingan dengan memakai obat antifungal—baik obat topical maupun obat minum—maka kemungkinan dapat mempengaruhi kesuksesan terapi pengobatan M. folliculitis.

    [1] [2] [3] Ilustrasi ini bukanlah gambaran keseluruhan populasi microbiota pada individu tertentu, dimana setiap individu memiliki proporsi, jenis dan populasi microbiota kulit yang berbeda-beda, namun hanyalah ilustrasi diagram untuk penyederhanaan penyampaian maksud pada artikel ini berdasarkan interpretasi Penulis

    REFERENCES:

    • Pusat Informasi Obat Nasional, BPOM, Anti Jamur, Internet (last retrieved October 2020)
    • Journal of the American Academy of Dermatology, July 2014, Vol 71 Issue 1, Pages 170-176
    • The Journal of Dermatology, August 2016, Vol. 43, Issue 8, Pages 906-911
    • Annals of Dermatology, August 2011, Vol 23 (Issue 3), Pages 321-328
    • Journal of the American Academy of Dermatology, March 2018 Volume 78, Issue 3, Pages 511–514
    • Mycoses. 2010 May;53(3):187-95
    • . 2020 Jan; 12(1): e6531 (open access)
    • Frontiers in Cellular and Infection Microbiology, March 2020, Vol 10, Pages 112 (open access)
    • Anais Brasileiros de Dermatologia, Volume 94, Issue 5, September–October 2019, Pages 527-531
    • Arch Dermatol. 1969;100(2):179-183
    • Biochem. J. (1968) 108, 225
    • The Journal of Investigative Dermatology. Vol 66 No 3, 1976, Pages 178-182.
    • Acta Derm Venereol. 1995 Mar;75(2):105-9
    • Med Mycol. 2001 Dec;39(6):487-93
    • J Soc Cosmet Chem 1989, 40, 321-333
    • J Soc Cosmet Chem 1983, 34, 215-225