Memilih Face Cleanser yang Tidak Merusak Skin Barrier


by Glow Necessities
Memilih Face Cleanser yang Tidak Merusak Skin Barrier

Sudah bukan rahasia lagi bahwa membersihkan wajah itu langkah pertama dalam merawat kulit untuk membentuk “kanvas kosong” agar produk lain yang non-bilas dapat bekerja dengan optimal.

Namun pertanyaannya: apakah proses “yang penting bersih” ini harus rumit dan berlangkah-langkah untuk bekerja efektif? Apakah banyak atau tidaknya busa di pembersih wajah menjadi indikasi “baik” atau tidaknya untuk kulit? Bagaimana dengan sensasi “cerah seketika” setelah dibilas atau kulit jika kesat setelah dibersihkan pertanda baik atau malah bermasalah? Bagaimana mungkin produk yang berkontak dengan kulit dalam durasi pendek ini dapat berpengaruh signifikan terhadap bagaimana kulit berfungsi jangka panjangnya?

Nah di sini kami memastikan kita bisa memilih produk dan metode yang tepat agar kulit tetap dalam kondisinya yang terbaik sesuai tipe kulit masing-masing.

Apa yang Membuat Cleanser Baik untuk Kulit 

Baik yang berbahan dasar minyak (oil based) atau yang larut di air (water soluble), pembersih wajah (cleanser) yang baik adalah yang membersihkan atau melunturkan cukup hanya berbagai zat yang perlu dibersihkan dari kulit—dalam artian tidak ikut mengikis zat-zat penting di lapisan kulit (lipid barrier) demi kondisi kulit yang tetap lembab dan terjaga keseimbangannya.

Nah bagaimana cara mencari tahu bahwa pembersih wajah ini bakal cukup lembut untuk berbagai tipe kulit wajah—terutama untuk kulit sensitif & reaktif? Caranya adalah dengan memperhatikan sistem surfactant yang digunakan di formulasi masing-masing cleanser.

Surfactant adalah bahan di cleanser yang berfungsi untuk mengikat komponen minyak dan air agar bisa menjadi satu—anggap layaknya magnet yang memiliki dua kutub—sehingga kotoran, minyak berlebih, polutan dan zat asing lain yang menempel di kulit mudah terlunturkan saat dibilas dengan air mengalir.

Walaupun memang tidak realistis untuk menemukan cleanser yang one-kind-fits-all, namun dengan memahami kategori—dan bagaimana tingkat membersihkan—berbagai bahan surfactant akan membantu kita menyederhanakan proses memilih garis besar kriteria cleanser yang lembut, tidak membuat kulit dehidrasi, meninggalkan residu, membuat kulit terasa ketarik, tidak nyaman atau malah mengganggu skin barrier dalam menyusun basic skincare routine untuk mencapai kondisi kulit tersehat yang kita harapkan.

Kategori Surfactant: Dari yang Terkasar Hingga Terlembut

Beberapa studi ini menjelaskan bahwa jika kategori surfactant diurut dari yang paling berpotensi mengganggu stratum corneum atau menimbulkan iritasi di kulit secara garis besar:

  1. Cationic (yang paling hydrophilic: yang paling "mengikat" komponen air, lebih sering ditemukan di produk pembersih perabotan, hair conditioner, atau hand-sanitizer dalam konsentrasi kecil karena beberapa memiliki fungsi anti-mikroba seperti: benzalkonium chloride atau cetrimonium bromide) dan Anionic (yang paling lipophilic: yang paling "mengikat" komponen minyak dan memproduksi lebih banyak busa. Misal yang paling umum dijumpai: sabun batangan (soap atau bar soap), bahan pembersih menyerupai sabun batang (soap-like surfactants), atau synthetic detergent SLS-Sodium Lauryl Sulfate).
  2. Amphoteric (yang seimbang sifat hydrophilic dan lipophilic-nya, dan cenderung lebih lembut namun memproduksi lebih sedikit busa). Misal yang paling umum dijumpai: Cocamidopropyl Betaine, Sodium Lauroamphoacetate, Lauryl Betaine.
  3. Non-ionic (lebih sering digunakan sebagai emulsifier produk non-bilas dalam konsentrasi kecil dan potensi menimbulkan iritasi paling kecil dibanding ketiga kategori di atas). Misal: alkyl glucosides, PEGs, Laureth-xx, Polysorbate-xx.

Adapun sebagaimana kasar atau lembutnya face cleanser tergantung pada formulasi akhir dalam proses produksi, varian senyawa yang digunakan (misal: sodium cocoyl isethionate atau SLES-sodium laureth sulfate walaupun masuk dalam kategori anionic yang sama dengan SLS tapi cara membersihkan kulitnya tidak se-me"ngikis" atau menembus skin barrier & menimbulkan iritasi layaknya SLS) dan tipe kulit kita, jika sistem surfactant utama yang digunakan adalah anionic yang kasar (SLS atau sabun batang)—atau menjadi produk bahan pembersih tunggal—maka kemungkinan menimbulkan iritasi dan mengikis minyak alami yang bermanfaat di skin barrier juga lebih tinggi walaupun jika diformulasikan dengan bahan pelembab humectant dan/atau emollient.

Masalah Pada Sabun Batang & Harsh Cleanser

Anggapan kulit yang terasa kesat, kering, dan ketarik setelah dibilas menggunakan pembersih berbahan utama anionic yang kasar (sabun batangan atau SLS) ini seolah-olah memberi "bersih" ini sesungguhnya antara karena:

  • Sebum atau minyak alami yang bermanfaat untuk kelembaban kulit yang ikut terkikis berlebihan
  • Formula cleansernya karena terlalu kasar mengganggu acid mantle dan skin barrier terkompromi sehingga kelembaban di dalam lapisan kulit ini jadi "bocor" (transepidermal water loss)
  • Atau surfactantnya meninggalkan residu di kulit—yang ironisnya dianggap sebagai "kulit lebih cerah atau putih" atau lapisan pucat di permukaan kulit setelah cuci muka menggunakan sabun batangan—dimana jika surfactant semakin lama kontak dengan kulit maka malah semakin berpotensi menimbulkan iritasi terselubung.

FDA (Food & Drug Administration) Amerika Serikat mendefinisikan sabun sebagai: "Hasil proses saponifikasi lemak (fats), asam lemak (fatty acid), atau minyak (oils) dengan larutan alkali (lye atau sodium/potassium hydroxide)". Cara foolproof-nya dengan kita melihat daftar komposisi di sabun batang atau produk pembersih wajah (face wash atau foaming wash) yang menggunakan menyerupai sabun batang (soap-like surfactant) seperti:

  • Sodium/potassium ***ate > misal sodium/potassium cocoate (saponifikasi coconut oil + lye), sodium/potassium palmate (saponifikasi palm oil + lye)
  • Jika di urutan teratas daftar komposisi terdapat satu atau lebih kombinasi fatty acids (misal myristic acid, stearic acid, dan/atau lauric acid) yang setelahnya diikuti dengan potassium/sodium hydroxide yang berarti hasil saponifikasi menjadi sodium/potassium myristate, stearate atau laurate di berbagai produk face "wash" yang sesungguhnya lebih menyerupai sabun batang.

Walaupun memang penggunaan sabun batang ini sudah terbukti berguna untuk mencegah penyebaran penyakit melalui cuci tangan sebagaimana yang dianjurkan oleh lembaga kesehatan atau kebersihan tubuh secara umum, namun dalam konteks untuk skincare kulit wajah—yang struktur kulitnya berbeda dengan kulit tangan atau cenderung lebih sensitif dan reaktif—menggunakan sabun batang atau bahan pembersih yang menyerupai sabun batang dalam jangka panjangnya dapat mengganggu keseimbangan acid mantle dan skin barrier karena sabun batangan biasa diformulasikan pada pH yang sangat alkali (antara 8-10).

Lebih Jauh dari Memilih Surfactant: Tips & Teknik Membersihkan

Untungnya sebagian besar pilihan face cleanser dengan surfactant lembut (gentle), pH yang tepat dan diformulasi dengan bahan pelembab yang mumpuni sudah lebih mudah ditemukan, namun cara memakai produk, teknik membersihkan kulit dan produk non-bilas yang dipakai sesudah cuci muka juga tidak kalah pentingnya untuk merawat kulit se-gentle mungkin, terutama pada kulit sensitif dan reaktif di antaranya:

  • Gunakan suhu air yang tidak terlalu ekstrim—tidak terlalu panas atau terlalu dingin—saat cuci muka.
  • Kurangi frekuensi cuci muka—jika memiliki kondisi kulit sangat sensitif, kering, atopic-prone atau rosacea-prone—misal pagi hari bilas dengan air bersih mengalir dan malam hari dibersihkan dengan gentle cleanser.
  • Selalu gunakan face cleanser produk bilas (baik yang oil-based maupun water-based) sesuai dengan petunjuk pemakaian kemasan atau produsennya. Meskipun terdapat berbagai "testimonial" atau "hack" anecdotal di media sosial seperti memakai cleansing oil lebih lama dari petunjuk pemakaian—hingga 15-20 menit—semakin lama surfactant di formulasi produk berkontak langsung dengan kulit maka potensi untuk menimbulkan iritasi atau reaksi negatif lain karena juga semakin tinggi. Setidaknya di Indonesia sudah diatur tersendiri untuk bahan apa saja yang memang diperuntukkan untuk produk bilas demi mengurangi risiko iritasi karena kontak bahan tertentu yang terlalu lama dengan kulit.
  • Selalu bilas produk pembersih—yang walaupun sudah memakai surfactant terlembut sekalipun dan bisa dibiarkan di kulit—seperti micellar water, makeup remover atau tissue pembersih (cleansing wipes)  untuk mengurangi risiko iritasi.
  • Hindari menggunakan alat-alat pembersih seperti konjac, cleansing brush—walaupun yang sudah lembut sekalipun—untuk mengurangi gesekan berlebih atau agar tidak over-eksfoliasi mekanis demi mengurangi iritasi dan inflamasi, terutama jika selama ini mengalami dehidrasi pada lapisan dalam kulit jangka panjang.
  • Keringkan kulit dengan menepuk halus handuk (pat dry)
  • Layer dengan hydrating toner atau moisturizer yang sudah diformulasikan dengan baik & bebas iritan sesaat setelah selesai cuci muka.
  • Kurangi (atau stop) memakai kapas dalam rentang waktu tertentu, terutama jika kulit dehidrasi demi mengurangi pemicu inflamasi dari gesekan berlebih, atau jika kulit sudah sering bergesekan dengan masker pelindung dalam durasi yang lama.

REFERENCES:

  • Bikowski JB. The use of cleansers as therapeutic concomitants in various dermatologic disorders. Cutis. 2001;68(5):12–19.
  • Ananthapadmanabhan KP, Moore DJ, Subramanyan K, Misra M, Meyer F. Cleansing without compromise: the impact of cleansers on the skin barrier and the technology of mild cleanser. Dermatology Therapy, January  2004, Vol 17, Pages 16–25.
  • Effendy I, Maibach HI. Detergent and skin irritation. Clin Dermatol. 1996;14:15–21.
  • FDA, Soaps & Lotions. Internet, (last retrieved October 2020)
  • The Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology, Aug 2011, Vol 4 (Issue 8), Pages 31-49
  • International Journal of Dermatology and Venereology, June 2020, Volume 3, Issue 2, pages 70-75 (open access)
  • The Journal of Clinical Aesthetic Dermatology, August 2011, Vol. 4 Issue 8, pages 31-49
  • Indian Journal of Dermatology, Jan-Feb 2011, Vol.56 Issue 1, Pages 2-6